08 Januari 2012

switch new templates

bosan,,, dengan nuansa darknezzz... gelap gulita. jadi susah berkreasi...
ingin suasana baru yang menyejukkan, dengan awan terbentang luas indah nan "biru"...

23 Juni 2011

HIPEREALITAS POLITIK CITRA DI INDONESIA

HIPEREALITAS POLITIK CITRA DI INDONESIA
Oleh, A. Nafiez Qodar
(Disampaikan pada Diskusi Mingguan Wasiat Jakarta)

Kegiatan berpolitik terjadi setiap saat, kapanpun, dan dimanapun. Terutama yang dilakukan oleh para elit politik. Kegiatan berpolitik yang paling besar di Indonesia dan di negara-negara lain adalah dalam Pemilihan Umum (Pemilu) yang sering disebut juga dengan Pesta Demokrasi. Baik berupa Pemilukada (Pemimpin Daerah), Pemilu Legislatif, atau bahkan Pemilu Presiden. Karena melibatkan semua elemen masyarakat, terlepas ikut memilih atau tidak.
Praktek politik pencitraan kerap kali dilakukan oleh para kandidat di pemilu demi mendapatkan dukungan yang besar dari masyarakat. Politik pencitraan dilakukan jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan pemilu, bahkan sebelum pencalonan. Namun, akan lebih masif dilakukan pada masa-masa kampanye. Pencitraan ini ditujukan untuk menciptakan suatu kesan, karakter, atau imej para elit politik yang nantinya akan terbentuk di masyarakat seperti apa yang dicitrakan. Terlepas pencitraan itu merupakan realitas atau hiperealitas kandidat.

Pengertian
Terminologi politik menurut Deliar Noer adalah merupakan aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu bentuk susunan masyarakat. Sedangkan menurut Lasswell adalah who gets what when and how? (siapa, mendapat apa, kapan, dan bagaimana?).[1] Pendapat Lasswell tersebut terinspirasi dari Politik menurut Machiavelly, yaitu menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu tujuan atau kekuasaan.
Citra adalah image atau gambaran. Citra diri adalah pandangan yang kita buat tentang diri kita sendiri.[2] Dalam ilmu geografi, citra ialah suatu pengambilan objek secara keseluruhan yang di lakukan dari tempat yang tinggi agar mendapatkan objek gambar secara keseluruhan.
Politik Citra ialah penggambaran tentang suatu tokoh dalam situasi dan kondisi apa saja baik politik, sosial, budaya dll dimana ia berperan aktiv dalam kegiatan politik dan dia membentuk image diri menjadi sesuatu yang ia inginkan.[3]
Kecenderungan politik citra mengarah pada apa yang disebut Jean Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra, sebagai simulasi realitas. Pada dasarnya simulasi realitas ini merupakan sebuah tindakan yang memiliki tujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu (seolah-olah mewakili kenyataan). Ruang pemaknaan di mana tanda-tanda saling terkait dianggap tidak harus memiliki tautan logis.[4]
Jean Baudrillard, seorang teoritis postmodern, adalah tokoh yang paling dikaitkan dengan istilah hiperrealitas. Secara singkat, hiperrealitas adalah suguhan ‘realitas’ yang lebih nyata dari aslinya, tempat di mana batas antara yang nyata dan maya sulit dibedakan. Sebuah dunia yang melebur. Menurut Baudrillard, televisi adalah sebuah tempat suguhan hiperrealitas karena televisi memiliki kemampuan untuk membangun sebuah realitas sosial (social constructed reality).[5]
Hiperealitas digunakan di dalam semiotika dan filsafat pascamodern untuk menjelaskan ketidakmampuan kesadaran hipotetis untuk membedakan kenyataan dan fantasi, khususnya di dalam budaya pascamodern berteknologi tinggi.[6]
Politik Pencitraan merupakan strategi politik yang sekarang ini lebih sering digunakan oleh para elit politik demi mencapai kekuasaan yang diinginkan. Sebuah mekanisme simulasi yang melahirkan fenomena “seolah-olah” seperti yang digambarkan atau dicitrakan. Meskipun tidak sesuai dengan realitas dan cenderung mengada-ada. Hal demikian yang membuat politik citra cenderung mengarah pada hiperealitas.
Hiperealitas paling tidak memiliki dua sifat dominan.
Pertama, sebagai reality by proxy yang lahir dari ketidakmampuan kesadaran dalam membedakan antara realitas dan fantasi. Banyak mimpi indah dibangun dan membentuk kesan di masyarakat seolah-olah para kandidat itu pembela orang kecil, pemimpin santun, hati-hati dan bermoral, atau pemimpin yang lugas dan mampu bekerja cepat demi rakyat.
Kedua, solisi imajiner yaitu proses menjadikan sesuatu yang non-empiris, serta mengobjekan kesan lewat kecanggihan teknologi simulasi, sehingga menjadi fakta yang dapat dilihat dan dirasakan pemilih. Berbagai teknik komunikasi politik seperti iklan, publisitas di media massa, loby, negosiasi dan lain-lain telah menyebabkan rakyat sulit membedakan antara yang nyata dan yang imajiner, atau antara yang benar dan yang palsu.
Wajar jika hiperealitas dalam pandangan Baudrillard dimaknai sebagai “The simulation of something which never really existed".  Sementara Umberto Eco menyebutnya sebgai "The authentic fake" atau kepalsuan yang otentik.[7]
Hiperealitas Politik Citra di Indonesia
Penamaan pemilu sebagai pesta demokrasi rakyat sepertinya sangat tepat, karena acara tersebut merupakan aktifitas politik yang sangat dinanti oleh semua masyarakat untuk memilih pemimpin yang sangat berpengaruh pada masa depan bangsa dan negara. Namun, tidak sedikit masyarakat yang tidak mengenal siapa kandidat pemimpin yang akan memimpinnya. Mungkin hanya sekedar tahu melalui media massa, atau tidak tahu sama sekali. Atau bahkan ada yang tidak mau tahu. Tetapi, jika pelaksanaan pemilu menuai banyak kecurangan dan kebohongan apakah masih layak disebut pesta demokrasi rakyat?.
Agar pelaksanaan pemilu dapat berjalan sesuai dengan harapan, maka diadakan kampanye pemenangan calon. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan para kandidat pemimpin. Juga untuk menggalang dukungan sebanyak-banyaknya dari masyarakat.
Politik di Indonesia lebih cenderung bermakna who gets what when and how. Sehingga pandangan Macheavelly terhadap politik sebagai kegiatan yang menghalalkan segala cara demi suatu tujuan atau kekuasaan benar-benar diterapkan di negeri ini. Demi kekuasaan itulah para kandidat rela melakukan kebohongan publik.
Salah satu strategi politik yang yang dilakukan para kandidat adalah melalui politik pencitraan. Agar masyarakat dapat mengenal kandidatnya sesuai dengan yang dicitrakan. Meskipun pada kenyataannya tidak sesuai. Pencitraan ini dilakukan melalui media-media massa baik elektronik maupun cetak. Juga dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sosial yang kemudian diketahui sebagai strategi kampanye terselubung.
Hiperealitas politik citra akan melahirkan fenomena seolah-olah. Melahirkan anggapan pada masyarakat bahwa kandidat tersebut adalah sosok pemimpin yang pro rakyat, bekerja demi rakyat, mampu menghadirkan kesejahteraan, tegas, dan cekatan. Peran seolah-olah itu dikemas dengan baik melalui media massa dan interaksi sosial yang hanya gencar dilakukan pada masa-masa kampanye. Padahal peran seolah-olah itu dapat melahirkan kesadaran palsu dan tidak memberdayakan pemilih.
Media massa sebagai suatu industri menganggap politik citra sebagai suatu yang sah dan apa adanya. Perang citra yang dominan sering kita temukan di berbagai media massa, seperti televisi, radio, internet, koran, dan berbagai varian media cetak lainnya. Akomodasi media massa terhadap politik citra dapat dipahami dalam hukum penawaran dan permintaan yang menjadi ciri logika dalam regulasi pasar (market regulation).[8]
Salah satu contoh penanda yang menonjol dalam praktik politik citra adalah pemilahan biner antar elit. Pemilahan biner adalah membentuk persepsi bahwa realitas itu terbagi. Contoh, pemilahan baik-buruk, gelap-terang, cepat-lambat, kaya-miskin. Dalam konteks pemilu 2009, pemilahan label neolib yang diidentikkan pada Boediono sengaja dihadap-hadapkan dengan ekonomi kerakyatan Megawati dan Prabowo. Slogan lebih cepat lebih baik JK dihadapkan dengan sosok SBY yang dianggap peragu, lambat, dan banyak pertimbangan. Bahkan tempat deklarasi pun tidak lepas dari pemilahan biner. Deklarasi partai Demokrat atas SBY-Boediyono di Bandung yang terkesan mewah dihadapkan dengan deklarasi PDIP-Gerindra yang berada di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Bantar Gebang. Sehingga kesan politik citra sebagai pemimpin yang pro wong cilik dan pro kapitalis seolah menjadi antitesa.

Penutup
Ada empat tahapan dalam pencitraan menurut Baudrillard. Pertama pencitraan adalah refleksi dari realitas dasar. Kedua, ia menutupi dan menyesatkan realitas dasar. Ketiga, menutupi ketidakhadiran realitas dasar. Keempat, tidak mengacu atau memiliki relasi dengan realitas manapun. Pada tahap inilah muncul simulasi yang sempurna. Realitas dasar Pilpres sesungguhnya adalah prosesi memandatkan wewenang dari rakyat kepada pemimpin yang dipilihnya. Dengan demikian, rakyatlah esensi pemilik kekuasaan. Namun demikian, realitas dasar itu kerap ditutupi, dikaburkan atau hanya dijadikan instrumen oleh para kandidat capres dan cawapres dengan menempatkan citra diri mereka melampaui kekuasaan rakyat.[9]
Semoga kita bisa menjadi pemilih yang cerdas, bukan hanya dijadikan sebagai instrumen pemilu yang cenderung hanya dimanfaatkan tanpa kita mengenal lebih jauh kandidat kita. Karena sesungguhnya kita adalah pemilik kekuasaan.

Refrensi
Heryanto, Gun Gun, Komunikasi Politik di Era Indutri Citra, (Jakarta: Lasswell Visitama, 2010)
............................., Handout Perkuliahan Komunikasi Politik, (Jakarta: Gun Lasswell, 2010)
                 , Pengertian Citra Diri, (ellopedia.blogspot.com, 2011).
Findme, Apa Itu Politik Pencitraan?”, (herumichan.blogspot.com, 2011).
Sianturi, Maya, Politik dan Hiperealitas,
               , Hiperealitas, (Wikipedia Indonesia, 2011).


[1] Gun Gun Heryanto, Handout Perkuliahan Komunikasi Politik, (Jakarta: Gun Lasswell, 2010) materi 1, h. 3.
[2] ......, Pengertian Citra Diri, (ellopedia.blogspot.com, 2011).
[3] Findme, Apa Itu Politik Pencitraan?”, (herumichan.blogspot.com, 2011).
[4] Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politi di era Industri Citra, (Jakarta: Lasswell Visitama, 2010), h. 51.
[5] Maya Sianturi, Politik dan Hiperealitas,
[6] ......, Hiperealitas, (Wikipedia Indonesia, 2011).
[7] Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik, h. 51.
[8] Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik, h. 50.
[9] Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik, h. 52.

30 Mei 2011

siang ini...!!!

siang ini,,,
pingin ke perpust... tapi males pretttttttttttt...

searching di internet, gag nemu2...
sekalinya ada alamatnya, eh,,, malah situsnya udah diblokir... pretelll gag modal pret...

25 Februari 2011

21 Januari 2011

testing

testing satu dua tiga...
posting di coba...