Haa..., Kadesku Seorang Pezina?
Haa..., Kadesku Seorang Pezina?
Memalukan.... Menjijikkan..., dan Hancurkan..!!! Tiga kata yang kutulis di awal tulisan ini dengan diakhiri tanda seru itu bisa dijadikan gambaran, akan seperti apa kelanjutan tulisanku ini. Dan tentunya, itu adalah gambaran dari perilaku bejat Kepala Desa (Kades) Payaman, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan, berinisial Rfk, yang diduga kuat melakukan perzinaan (njino).
***
MALAM itu, Jumat (14/5) dini hari sekitar pukul 01.30 WIB, handphone (HP) yang ada di saku celana jinsku tiba-tiba bergetar. Sepontan, tanganku merayap meraih telepon seluler (ponsel) tuaku itu. Sambil menggapai HP-ku, aku yang malam itu sedang berada di tengah-tengah majelis maiyah Kenduri Cinta yang diasuh budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) di halaman aman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta Pusat, beranjak keluar dari majelis itu karena di sana suaranya gaduh. Sehingga sulit bagiku untuk berbicara di telepon.
”Kak, petinggi ketangkap basah selingkuh mbarek wong Plirangan,” begitu suara dari ujung telepon yang tak lain adalah suara adikku yang saat itu sedang berada di kampung halaman. ”Kapan?,” tanyaku. ”Barusan ae, sekitar jam setengah 12 mau. Saiki kabur. Dicolno karo Pak RT,” jawab adikku.
Artinya, baru beberapa saat kejadiaan itu terjadi, dan aku yang berada jauh dari kampung halaman sudah mendengar kabar itu. Sebenarnya, kabar adanya guru zina, pimpinan zina, anak yang membunuh orangtua, atau kabar-kabar ironis lainnya, bagiku itu sudah biasa. Bisa dibilang, kabar seperti itu bagiku sudah menjadi menu hampir tiap hari. Dan aku biasanya tidak terlalu menghiraukan.
Tapi kali ini, kabar yang kuterima dari adikku itu langsung menyulut emosiku. Ini benar-benar mengagetkanku. Aku benar-benar tidak terima dengan perilaku bejat pemimpin desaku itu. Kabar bahwa aku, keluargaku, dan juga rakyat di desaku yang umumnya dikenal memegang teguh syariat Islam, ternyata dipimpin oleh seorang pemimpin yang diduga kuat sebagai pezina. Dalam tulisan ini, sengaja nama sang kades hanya kutulis dengan inisial, dan kuawali dengan kalimat ”diduga kuat”, karena bagaimanapun, saya harus tetap memegang aturan hukum dalam penulisan, yaitu azas praduga tak bersalah (presumption of innocent). Meskipun, kemungkinan kebenaran berita itu sangat tinggi. Ini dibuktikan dengan kaburnya sang kades yang hingga tulisan ini kubuat, tidak berani menunjukkan batang hidungnya karena takut dimassa. Karena kalau tidak benar selingkuh, kenapa harus kabur???
Saya tidak bisa membayangkan bagimana pikiran yang ada di benak para tokoh-tokoh agama di desaku, seperti Mbah Yai Rofi’e, Yai Munir, para guru-guru, dan masyarakat Payaman pada umumnya. Kalau aku yang tinggal jauh dari desa saja, dan selama ini tidak pernah bersentuhan atau punya urusan langsung dengan sang kades biadab itu saja, merasa sangat geregetan mendengar kabar ini, bagaimana dengan mereka-mereka yang tinggal di desaku, dan pernah berurusan dengan kades yang satu ini.
Apalagi dengan orang-orang yang punya dendam pribadi dengannya, seperti para calon kades yang pernah tumbang oleh pimpinan bejat yang satu ini, saat Pilkades beberpa tahun lalu. Juga, warga yang selama ini merasa tidak puas dengan kepemimpinannya.
Sebab, kerap kudengar, selama kepemimpinannya, pembangunan desa hampir sama sekali tidak tampak. Padahal alokasi dana desa (ADD) dari pemerintah tiap tahunnya mencapai ratusan juta. Entah kemana saja anggaran itu larinya? Kok pembangunan tidak tampak. Tentunya ini menjadi tanda tanya besar (?). Mungkin selama ini sebagian masyarakat desaku tidak tahu, atau tidak pernah mau tahu kalau ada ADD yang nilainya luar biasa.
Nah, sekarang, ketika ada kabar kadesku njino, aku sebagai warga Desa Payaman jelas gregetan. Dan hampir semua teman desaku yang menghubungiku menunjukkan kemarahannya begitu mendengar kabar ini. Karena aku suka menulis, kemarahanku itu langsung kuluapkan dalam bentuk tulisan.
Tentunya, dalam kemarahanku itu, pikiranku langsung terbang kepada ”ganjaran” apa yang patut diterima oleh pimpinan yang berperilaku bejat seperti ini. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 284 huruf a disebutkan, seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak/perzinaan (overspel); dan huruf b pada pasal yang sama, disebutkan bahwa seorang wanita yang telah kawin yang melakukan perbuatan zina, keduanya bisa dijerat hukuman pidana penjara paling lama sembilan bulan.
Tapi, pikiranku tentang ganjaran yang patut diterima oleh kadesku itu, bukan seperti apa yang tertuang dalam KUHP itu. Karena untuk urusan hukum itu, urusannya terlalu ribet. Harus ada laporan dari korban (suami/istri sahnya) ke polisi. Lantas, dari polisi juga biasanya penanganannya ribet. Apalagi polisi kita banyak yang gampang disuap, dan sang kades kabarnya juga sangt cs dengan sejumlah Pak Polisi yang bermarkas di wilayah Ndandu, Solokuro.
Belum lagi nanti dari polisi, kalau saja kasusnya berlanjut, masih harus dibawa ke kejaksaan, baru ke pengadilan. Itu kalau bisa dilanjut. Terlalu ribet dan butuh waktu lama. Makanya kalau tindakan hukuman yang seperti itu tidak terlalu kuhiraukan.
Pikiranku justru lebih mengarah kepada hukuman sesuai dengan ajaran Islam yang dicontohkan Rasulullah SAW, bahwa bagi pezina yang sudah menikah, maka hukumannya adalah dirajam sampek matek di lapangan yang disaksikan oleh masyarakat umum.
Tapi karena hukum positif kita tidak menganut cara itu, dan kalau kita menggunakan cara itu, justru kita yang akan kena hukuman pidana, maka hukuman paling cocok bagi pimpinan yang seperti itu adalah hukuman sosial, dan tentunya juga hukuman disiplin sebagai kades. Dalam hal hukuman disiplin sebagai kades ini, satu-satunya cara adalah wajib lengser. Karena tidak mungkin pimpinan yang seperti itu dipertahankan. Aku, dan juga warga payaman pada umumnya, baik yang NU, Muhammadiyah, atau kaum abangan, jelas tidak rela dipimpin oleh pemimpin yang hobi zina.
Lantas, seperti apa hukuman sosial yang bisa dilakukan. Pertama, seandainya sang kades tertangkap, seperti yang banyak dilakukan warga di daerah lainnya jika menangkap pasangan selingkuh, yaitu dengan diarak dalam kondisi telanjang bulat dengan pasangannya. Apalagi ini seorang pemimpin desa yang mayoritas warganya memagang teguh syariat Islam. Itu jika sang kades tertangkap.
Hukuman sosial kedua, seperti cara yang memang sudah menjadi tren saat ini dalam menyikapi ketidakbenaran, yaitu dengan menggelar aksi demonstrasi. Tentunya, aksi demonstrasi yang dilengkapi dengan spanduk-spanduk hujatan dan ungkapan ketidakpuasan terhadap pimpinan yang seperti ini. Dan, itu sudah dilakukan oleh warga desaku, hari itu juga di depan balai desa.
Tentunya, bagiku itu sangat kurang. Menurutku, minimal demonstrasi harus dilakukan di depan kantor kecamatan, dan Pemkab Lamongan. Tentunya dengan jumlah massa yang besar. Dengan begitu, wartawan dari berbagai media, baik cetak maupun elektronik, terutama televisi yang biasa mangkal di pusat Kota Lamongan, akan dengan mudah meliputnya. Berbeda jika aksi dilakukan hanya di desa yang jauh dari jangkauan media.
Sebab kalau perselingkuhan, bagi media itu tidak terlalu punya nilai berita. Kecuali jika yang melakukan itu anggota DPRD, atau Bupati. Itu baru berita. Jadi, agar kasus ini bisa diberitakan, caranya aksi demonstrasinya harus dilakukan dengan jumlah massa besar. Dan harus dilengkapi dengan berbagai atribut di depan Bupati. Selain minta agar kades ini lengser, cara itu yang paling utama yaitu agar bisa dihukum oleh sebah pemberitaan.
Hukuman seperti itu masih jauh lebih ringan dibandingkan hukuman yang dicontohkan Rasul, yakni dirajam hingga ajal menjemput. Atau hukuman yang biasa diterapkan oleh warga di sejumlah daerah lainnya, yaitu dimassa hingga tewas. Bagaimana, Anda setuju…..????
Wassalam…
Jakarta, 17 Mei 2010
Atas Nama Warga Desa Payaman yang Tinggal di Perantauan
(dari beberapa sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar